![]() |
IBNU dan Bapaknya Apendi (merdeka.com) |
Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!
jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murah ini..
karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir ☺️☺️☺️☺️
Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900
caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas↑↑
tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya
Minggu, 09 Maret 2014


Kisah Ironi Ibnu Ahmad dan Pemimpin Banten . Di Jalan Bhayangkara Serang, seorang perempuan yang konon katanya Ratu gadungan berjulukan Atut Chosiyah menghabiskan uang sebesar ratusan juta rupiah setiap kali ke Singapura dalam rangka shoping. Saat bepergian ia selalu menerima pengawalan dan penaungan payung penyejuk wajah plastiknya. Ia bermewah-mewah dan bergelimang harta. Ia bukan perempuan biasa yang sukanya kongkow-kongkow sesama ibu-ibu sambil saling mencari kutu di pinggiran rumah berdindingkan bilik bambu. Ia yaitu Ratu yang menampik rumah dinasnya sendiri sebagai rumah kehormatan pemangku amanah sebagai gubernur. Tak kepalang tanggung rumah dinasnya yang dibangun dengan uang rakyat puluhan miliar rupiah itu seenak udelnya disia-siakan begitu saja. Ia lebih menentukan menyewa rumah pribadinya sebagai rumah dinas, alasannya yaitu dianggap lebih refresentatif. Pinter kodek bin jahanam namanya. Pemimpin model apa ini !
Sang Ratu menyerupai boneka Barbie yang hidup dalam kandang emas. Di usia berdirinya provinsi Banten hampir 12 tahun, ia benar-benar bermetamorfosis sebagai sosok sebagaimana Barbie sehabis memenangkan kontes “Pilkada”, kontes pilkada tingkat provinsi yang disiarkan di banyak sekali TV. Orang tuanya membuka jalan restu atas semua kemewahannya. Seolah tak ada edukasi sama sekali bahwa gaya hidup itu bisa jadi bom waktu baginya di masa depan. Padahal Sang Ratu sendiri sering menyampaikan bahwa mendiang Bapaknya Chasan Sohib, berpesan biar dirinya berperan membangun Banten. Nyatanya, ia memeluk sambil menusuk dari belakang.
Sementara Wawan sang Adik, dijuluki sebagai Gubernur Jenderal di Banten alasannya yaitu ia lebih berkuasa ketimbang kakaknya yang gubernur Banten. Baginya, Banten yaitu miliknya, tak boleh ada siapa pun merintangi sepak terjangnya. Untuk pejabat Banten, beliau mempunyai pasal khusus “yang jujur akan hancur”. Hanya satu prase yang menjadi tujuannya : “Harta, Tahta dan Wanita”. Ia hidup bergelimang harta dengan penuh gaya poya-poya. Harta di mana-mana, sekali party 200 juta habis seketika di Flame Boutique Ktv.
Uang yang dimiliki Atut dan Wawan yaitu hasil dari banyak sekali proyek di Banten. Mereka sukses membangun dinasti dengan misi korupsi kongkalikong dan nepotisme. Jejaringnya semakin menggurita dalam satu komando dan satu jejaten jawaraisme. Mereka lupa, bahwa Banten yaitu bab dari Indonesia yang mempunyai satu kekuatan aturan yang satu berlaku untuk siapa pun. Lebih parahnya lagi mereka (dinasti) lupa pula bahwa Banten yaitu milik seluruh rakyat Banten yang setiap napasnya menggugat ketidakadilan pemimpinnya. Mereka tidak yakin bahwa setiap kata yang keluar dari verbal rakyat yang tertindas yaitu do’a. Mereka lupa bahwa do’a cepat atau lambat akan terkabul dengan izin Allah. Mereka lupa bahkan menantang kekuatan koloni semut yang melingkarinya. Semut kalau terus diinjak lama-lama akan menggigit. Kini, semut-semut itu telah berhasil menggelindingkan mereka dari singgasana tahta menuju peradilan KPK. Kini mereka kehilangan kebebasan berselimut hina dina, moral hancur wibawa lenyap. ******
Di pinggiran kota sana relatif bersahabat rumah gubernur, di Sumur Putat, Kecamatan Cipocok, Kota Serang, seorang bocah berusia 2 tahun berjulukan Ibnu Ahmad harus hidup tergolek menderita tumor tak mempunyai biaya untuk berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), dilansir merdekadotcom (8/3/2014). Ibnu sekarang hanya bisa tergolek lemas di rumahnya bersama kedua orang tuanya Apendi dan Sulkiah, pasrah menunggu keajaiban Tuhan. Sebagai seorang ayah bagi anaknya tersayang, Apendi tak bisa berbuat apa-apa demi buah hatinya yang dikasihinya alasannya yaitu ia hanya seorang tukang ojek Pasar Rau. Sebagaimana Atut dan Wawan, Ibnu juga kehilangan waktunya untuk bermain layaknya anak-anak. Sementara Apendi, ia terpaksa menjadi buruh ojek demi menghidupi anak istrinya tak bisa selalu berada di samping Ibnu buah hatinya. Seandainya besok atau lusa Ibnu meninggal dunia, kemiskinanlah peristiwa yang memisahkan anak itu dengan ayah dan ibunya. Apendi menolak untuk menyerah. Ia berkeras untuk menyembuhkan anaknya dengan ramuan-ramuan seadanya mengikuti petunjuk orang yang simpatik. Tidak mungkin ia membawanya ke RSCM. Bekerja sebagai tukang ojek, yang akhirnya menyerupai setitik nila pada jumlah uang yang dihabiskan Atut dan Wawan untuk gaya hidup ke salon mancanegara dan party di Flame Boutique.
Saya tak henti-hentinya mencucurkan air mata ketika menulis ini. Tak berpengaruh saya membayangkan seandainya itu dialami oleh saya sendiri. Apa yang saya rasakan ketika menyaksikan anak kandungku tergolek lemas menjadi korban kemiskinan diriku. Di usia sekecil itu, ia sudah menjadi seorang penanggung nasib dan tumbal ujian kedua orang tuanya yang sulit menolak untuk dikalahkan nasib.
Saya sedang memikirkan betapa kontrasnya dunia. Ada yang bermandikan fasilitas, ada pula yang tak berfasilitas. Namun, jikalau kehidupan yaitu proses melalui terjalnya bermacam-macam tantangan serta karang-karang persoalan, maka ayah bocah Ibnu itu telah menawarkan tabiat seorang petarung yang tak pernah mau kalah tanpa uluran tangan pemerintah. Baginya, obat apa pun hanya milik Allah dan Allah jua yang menyembuhkan. Ia seorang ayah yang bertarung di medan kehidupan demi sesuatu yang luhur, demi mempertahankan hidup orang lain. Nampaknya ia melaksanakan sesuatu yang besar demi menyelamatkan sesuatu yang kecil. Namun, apakah kita punya tafsiran benar ihwal masalah besar dan kecil dalam kehidupan kita?
Saya juga memikirkan hal yang lain. Bagi saya, potret Wawan-Atut dan Apendi-Sulkiah yaitu potret dari dua warga Banten. Wawan-Atut yaitu potret kemajuan secara ekonomi, namun miskin secara spiritual. Sementara Apendi-Sulkiah yaitu potret matangnya sebuah pribadi, namun terpuruk secara material. Potret Ibnu yaitu potret buram dari ribuan anak Banten yang masih harus berkelahi dengan nasib alasannya yaitu menjadi tumbal Gubernur Jenderal Banten.
Inilah Banten yang membiarkan warganya hidup dengan duit tidak hingga sepuluh ribu dalam sehari. Ketika Apendi hidup membanting tulang demi sesuap nasi, banyak pembesar negeri hidup bergelimang kekayaan dan memperbesar kantung pribadi. Ketika anak kecil 2 tahun itu antara hidup dan mati, banyak pejabat yang bekerja untuk membangun kemegahan pribadi, dan memakan uang yang sejatinya diperuntukkan bagi bocah kecil Ibnu Ahmad.
Maka menjadi amat lucu ketika dulu Gubernur Banten melalui dana Bansos hanya mau membantu forum yang dipimpin sanak saudaranya, yang pada sejatinya yaitu menilep uang rakyat kecil yang dulu menjadikannya pemimpin Banten.
Bagaimanakah dengan kekayaan Atut dan Wawan kini? Mungkin kita perlu menunggu beberapa waktu untuk melihat ending dongeng ini. Yang pasti, waktu tidak sedang diam. Waktu sedang mencatat. Semoga….
Banten, 8 Maret 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar