Kabar Gembira Buat kamu yang ga sengaja kunjungi Blog ini !!!

jarang-jarang kamu bisa nemuin Harga SOUVENIR se Murah ini..

karena ini kami buat sengaja buat kamu yang ga sengaja berkunjung ke Blog kami dengan ulasan kami selain dari ulasan souvenir

Nah buat kamu yang tertarik dengan Harga-harga souvenir kami, bisa langsung hubungi whatsapp kami di 081296650889 atau 081382658900

caranya screenshoot atau sertakan link url souvenir yang kamu minati pada blog ini, kirimkan kepada kami di nomer yang sudah tertera dia atas

tanpa screenshoot atau link blog kami, kemungkinan kami akan memberikan harga jual yang ada pada toko kami yang cenderung lebih tinggi tentunya

Senin, 08 Desember 2014

Kiprah Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi Al-Bantani . Kiprah dua tokoh Banten : Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi Albantani tidak diragukan lagi dalam sejarah usaha bangsa ini, khususnya di bumi Banten. Kedua tokoh ini merupakan simbol dari kekuatan umaro jawara Sultan Agung Tirtayasa dan ilmuan, tokoh pendidik / ulama, Syeikh Nawawi Albantani yang bisa membangun peradaban di bumi Banten. Kolaborasi dua representasi masyarakat Banten ini telah menerangkan bahwa Banten telah menjadi wilayah yang berperadaban di jamannya, baik dari tradisi penyenggaraan good governace maupun tradisi intelektualnya. Dua tokoh besar yang dilahirkan di bumi Banten ini telah diabadikan namanya menjadi masjid kampus Untirta Syeikh Nawawi AlBantani dan nama kampus pujian masyarakat Banten Universitas Sultan Agung Tirtayasa.
Sultan Agung Tirtayasa.

Sultan Agung Tirtayasa
Sultan Agung Tirtayasa (Banten, 1631 – 1683) yaitu putra Sultan Abdul Ma'ali Ahmad dan Ratu Martakusuma yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Agung Tirtayasa berasal dikala ia mendirikan keraton gres di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten
Riwayat Perjuangan
Sultan Agung Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1683. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Agung Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah gres dan menyebarkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Agung Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
Silsilah Sultan Agung Tirtayasa
Sultan Agung Tirtayasa @ Sultan 'Abdul Fathi Abdul Fattah bin
Sultan Abul Ma'ali bin
Sultan Abul Mafakhir bin
Sultan Maulana Muhammad Nashruddin bin
Sultan Maulana Yusuf bin
Sultan Maulana Hasanuddin bin
Sultan Syarif Hidayatullah @ Sunan Gunung Jati Cirebon
MASA KEPEMIMPINAN SULTAN AGUNG TIRTAYASA
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi dikala Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang mempunyai gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Agung Tirtayasa (1651-1684).
Firman V dalam tulisannya menggambarkan sosok Sultan Agung Tirtayasa, semenjak muda, dikala masih menjabat Sultan-muda dan sebelumnya, sudah dikenal di kalangan masyarakat sebagai salah seorang putera darah biru yang menyukai seni buday, mempunyai ketaatan kepada fatwa agama. Beliau bisa melaksanakan permainan semacam wayang wong, dan permainan dedewaan. Demikian pula ia bahagia akan main sasaptonan yang agaknya pada masa itu merupakan permainan yang amat digemari di kalangan darah biru dan rakyat. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Sultan Agung Tirtayasa begitu menghargai kebudayaan sebagai bab tak terpisahkan dalam kesehariannya.
Ketika menjadi raja Banten, Sultan Agung Tirtayasa dikenal cerdas dan menghargai pendidikan. Perkembangan pendidikan agama Islam maju dengan pesat. Di komplek Masjid Agung dibangun sebuah madrasah yang dimaksudkan untuk mencetak pemimpin rakyat yang saleh dan taat beragama, demikian juga di beberapa tempat lainnya. Untuk mempertinggi ilmu keagamaan dan membina mental rakyat serta prajurit Banten didatangkan guru-guru dari Aceh, Arab dan tempat lainnya. Salah satunya yaitu seorang ulama dari Makasar, Syekh Yusuf Taju'l Khalwati, yang kemudian dijadikan Mufti Agung, guru dan mantu Sultan Abulfath (Hamka, 1982:38).
Sultan membina kekerabatan baik dengan beberapa negara Islam menyerupai dengan Aceh dan Makasar, demikian juga dengan negara Islam di India, Mongol, Turki dan Mekkah. Sultan menyadari bahwa, untuk menghadapi kompeni yang kuat dan penuh dengan taktik licik tidaklah mungkin dihadapi oleh Banten sendiri. Dalam aktivitas diplomatik, Sultan pernah mengirimkan utusan ke Ingris yang terdiri dari 31 orang dipimpin oleh Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada tanggal 10 Nopember 1681. Utusan ini bukan saja sebagai kunjungan persahabatan tetapi juga sebagai upaya mencari proteksi persenjataan (Russel Jones, 1982).
Demikian pesatnya usaha yang dilakukan Sultan 'Abulfath Abdul Fattah dalam membangun kemakmuran Banten, sebagai persiapan mengusir penjajah Belanda, sehingga Gubernur Jendral Ryklop van Goens, pengganti Gubernur Jendral Joan Matsuiyker, menulis dalam suratnya yang ditujukan kepada Pemerintah Kerajaan Belanda tanggal 31 Januari 1679, bahwa "Yang amat perlu untuk training negeri kita yaitu penghancuran dan pembatalan Banten. … Banten harus ditaklukkan, bahkan dihancur leburkan, atau kompeni yang lenyap" (Tjandrasasmita, 1967:35).
Keteladanan Sultan Agung Tirtayasa
Nilai-nilai yang dimunculkan dari Sultan Agung Tirtayasa. Sebagai seorang pemimpin, ia yaitu pemimpin yang sangat amanah dan mempunyai visi ke depan membangun bangsanya. Dilihat dari segi diplomasi, ia selalu menjaga jalinan kerjasama dalam bentuk politik maupun ekonomi yang saling menguntungkan. Munculnya VOC yang ingin memonopoli keadaan tentu membuat Sultan Agung Tirtayasa gelisah dan melaksanakan perlawanan. Ia selalu konfrontatif dengan ketidakadilan, ketidakberesan dan selalu konsekuen dengan kebenaran yang dipegangnya. Ia juga kukuh memertahankan martabatnya termasuk dikala ia harus berhadapan dengan Sultan Haji, darah dagingnya sekalipun.
Sejarah keemasan kesultanan Banten, terjadi pada masa Sultan Agung Tirtayasa sekitar kurun waktu periode 1651-1682 M. Kedaulatan politik dan ekonominya benar-benar membawa kesultanan Banten menjadi kekuatan dunia yang disegani dan kuat di Asia. Sultan Agung Tirtayasa yaitu seorang pemimpin yang sangat visioner, andal perencanaan wilayah dan tata kelola air, egaliter dan terbuka serta berwawasan internasional.
Dalam buku sejarah Banten yang ditulis oleh Claude Guiilot digambarkan bahwa, Sultan Agung Tirtayasa yaitu sultan Banten yang berinisiatif melaksanakan transfor-masi budaya dan pembangunan kemudahan fisik yang biasa berbasis kayu dan bambu menjadi berbasis watu beton. Untuk itu, Sultan tidak segan mengangkat seorang arsitek asal Cina berjulukan Cakradana sebagai pimpinan proyek dalam alih teknologinya. Bahkan untuk pembangunan bendungan untuk teknologi tata kelola air untuk irigasi persawahan mendatangkan seorang konsultan dari Belanda berjulukan Willem Caeff. Inilah potret seorang teknokrat visioner yang egaliter dan terbuka mendapatkan IPTEK dari manapun datangnya untuk kemaslahatan masyarakat banyak.
Sultan dikenal sebagai andal taktik perencanaan logistik andal di zamannya. Sultan membangun irigasi multifungsi. Irigasi bukan hanya untuk kepentingan ekonomi pertanian, tapi juga sebagai jalur transportasi dan pertahanan Negara. Sultan bisa membuat konsep terpadu dalam menyiapkan infrastuktur, sehingga keterbatasan diubah menjadi keunggulan. Sultan mempunyai idealisme untuk melaku-kan perlawanan terhadap ketidakadilan dan kezaliman penjajah Belanda hingga simpulan hayatnya.
Sultan Agung Tirtayasa selain spesialis taktik perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan tempat lainnya. Salah seorang guru agama tersebut yaitu seorang ulama besar dari Makassar yang berjulukan Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Agung Tirtayasa.
Selain menyebarkan perdagangan, Sultan Agung Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas wilayah imbas dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik perluasan ini dilakukan oleh Sultan Agung Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Agung Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk melaksanakan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai jawaban bagi tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan undangan semoga Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian tenang yang dibentuk tahun 1645. Oleh Sultan Agung Tirtayasa undangan itu ditolak alasannya selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan laba bagi Banten.
Usaha Sultan Agung Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang absurd dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang akrab dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Agung Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas kekerabatan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Perlawanan Terhadap Ketidakadilan
Dalam menyebarkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menjadikan persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yang adakala merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yang sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yang berpangkalan di Batavia beberapa kali melaksanakan blokade terhadap pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli perdagangan, menyerupai terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara pasukan Banten dan VOC di tempat Angke, Tangerang, dan di perairan Banten. Selain itu, kekerabatan Banten dengan Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan, akhir besarnya impian Mataram untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, contohnya pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan ke tempat perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Politik Bebas Aktif
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten membuka pintu kepada siapa pun yang mau bekerjasama baik dan kolaborasi dengan Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina kekerabatan baik dan kerjasama dengan banyak sekali pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin kekerabatan baik.
Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, semenjak awal telah terjadi kekerabatan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton yaitu keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, kekerabatan Banten dengan Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun adakala Banten mendesak Cirebon semoga memihak kepadanya dan adakala Mataram mendesak Cirebon semoga berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, semenjak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung hingga tahun 1681, dikala Cirebon menjalin kekerabatan dan kerjasama dengan VOC.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Agung Tirtayasa diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Agung Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk secara bahu-membahu menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Agung Tirtayasa tidak bisa tetapkan kekerabatan Mataram dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Agung Tirtayasa harus berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Agung Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena tergoda hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian kiprah ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji sehabis Sultan Agung Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai tempat pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh alasannya dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan proteksi pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melaksanakan perebutan kekuasaan kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Agung Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu sanggup menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta menerima proteksi dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Agung Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bahu-membahu dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Agung Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Agung Tirtayasa, proteksi militer yang dikirim dari Batavia tidak sanggup mendarat di Banten. Akan tetapi, sehabis ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 proteksi dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Agung Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Agung Tirtayasa terus melaksanakan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 hingga 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan tempat Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan tempat Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan tempat Serang; 400 hingga 500 orang mempertahankan tempat Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang memperkuat tempat Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang sanggup dikuasai juga oleh VOC. Sultan Agung kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan sentra pertahanannya. Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup usang sanggup bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan balasannya jatuh juga sehabis terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari tempat pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Agung Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu mengkremasi benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Agung Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Agung Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Agung Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Agung Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia hingga ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
PENUTUP
Karakter Sultan Agung Tirtayasa dan Syeikh Nawawi al-Bantani mewakili abjad kepemimpinan dan intelektual. Perpaduan abjad yang dibutuhkan dalam memimpin Universitas sebagai sentra keilmuan dan kepakaran serta sentra kaderisasi kepemiminan nasional. Karakter dimaksud antara lain tercermin dalam sembilan abjad unggul, yaitu:
  1. Cerdas, berpikir taktis dan strategis
  2. Pantang menyerah, mempunyai integritas watak, dan konfrontatif terhadap kezaliman
  3. Inovatif dan kreatif
  4. Visioner, peduli terhadap pengembangan ilmu dan pendidikan
  5. Proaktif, responsif, dan berorientasi pada pelayanan
  6. Membuka diri dan bisa membaca tantangan zaman
  7. Komunikatif dan bisa bekerjasama
  8. Moderat dan menghargai kemajemukan, serta
  9. Menjaga nilai budaya lokal.
Tambahan : Sultan Agung Tirtayasa pernah membangun Terusan Saluran Air Pontang - Tanara dengan Kyai Ngabehi Wangsanala sebagai Pemimpin Proyek. Kyai Ngabehi Wangsanala yaitu dari keluarga Sultan dengan gelar kehormatan Suryadiwangsa dan jabatannya sebagai Menteri Negara.
Sumber

0 komentar:

Posting Komentar