Ini mengenai anggota Brimob Gorontalo yang dulu kala mendadak nyeleb. Waktu itu, semua orang tua-muda tau siapa Briptu Norman Kamaru. Di ketika yang sama, ribuan anak sekolah lupa bahwa di atas sana ada seorang lelaki berjulukan Profesor Boediono. Bayangkan, bahkan si Brimob itu mengalahkan popularitas seorang wakil presiden sebuah negara sebesar Indonesia!
(Syukurlah balada chaiya-chaiya itu tidak terjadi menjelang demam isu pemilu. Jika Norman jaya satu-dua bulan sebelum jadwal registrasi caleg untuk pemilu 2014, misalnya, saya yakin Oktober nanti ia sudah nangkring di Senayan).
Menyambut fakta indah bahwa dirinya ngetop total, Norman menentukan keluar dari dinas kepolisian. Banting setir jadi artis, meski disambut cercaan kiri-kanan yang mencemaskan masa depannya. Ia pun tampil di sana sini. Sekejap saja. Dunia hiburan mengulumnya sesaat, kemudian melepehkannya.
Hari ini (jik diedit seharusnya: beberapa waktu yang lalu), media sanggup santapan lagi. Norman jualan bubur. Dulu Brimob kondang, kini cuma tukang bubur!
Segala jenis media pun mengangkat isu itu. Karakter isi beritanya hampir semuanya seragam. “Norman kini jatuh dan harus merangkak lagi dari bawah”, “Warungnya Norman sangat sederhana”, “Badannya tampak kurus”, “Norman sepertinya harus mengakui keputusannya dulu salah”, dan setumpuk nada-nada iba lainnya.
Tak satu pun media yang memajang judul besar-besar “Mantap! Tersingkir dari Panggung Hiburan, Norman Kamaru Bangkit Makara Pengusaha!”, atau “Norman Kamaru, Dari Polisi Menjadi Entrepreneur”.
Memang akan terdengar lebih seolah-olah bunyi motivator bisnis. Tapi saya baiklah dengan teori bahwa sebuah negara akan maju dan kaya jikalau 20 persen penduduknya menjadi wirausahawan. Merekalah yang aktif memutar roda ekonomi yang sesungguhnya. Nah, alih-alih terus menjadi parasit APBN dengan makan honor Brimob, Norman kini ambil cuilan dalam barisan para pemutar roda itu.
“Iya memang ia pengusaha sih, tapi kan kasihan, mulainya dari bawah banget gitu..” Mungkin itu yang mau kalian katakan.
Jangan salah. Sepuluh tahun silam, beberapa ketika menjelang wisuda sarjana, saya dan seorang teman melaksanakan survei ke warung-warung burjo dan kantin-kantin kecil. Dari situ kami tahu bahwa keuntungan higienis tiap warung saja per bulan sanggup mendekati 2 juta. Ingat, itu angka Yogya di tahun 2004. Di ketika UMR di kota tersebut hanya sekitar 700 ribu.
Baiknya kita simpan rasa kasihan untuk Norman Kamaru. Emang kalian tahu berapa honor bulanan seorang Brimob dengan pangkat Briptu? Apa kalian kira dengan jualan bubur, di kota seriuh Jakarta, artinya Norman lebih miskin? Hohohooo!! Ditambah lagi dengan abjad Norman yang pede, kreatif, juga supel dan lucu, kalau ia sanggup meramu semua itu dengan jalan bisnisnya, tiga-empat tahun ke depan ketebalan dompetnya cuma sanggup disaingi sama Kasatlantas Polresta setempat.
Sekali lagi, media memang ngehek. Mungkin mereka sejatinya tahu bahwa tukang bubur lebih kaya daripada Brimob. Tapi isu full nada iba itu memang disengaja. Tau apa sebabnya? Ya, alasannya ialah isu mengenaskan wacana seorang figur publik memang akan selalu laku. Kenapa laku? Ya lantaran kita suka itu. Kenapa kita suka? Karena kita sanggup menontonnya sambil membatin, “Ah kalo gitu hidupku lebih mendingan ketimbang ia ya.. Hehehe.”
Makara bukan cuma media yang ngehek. Kita juga ngehek. Kamu, terutama. Iya, kamu!.
Hari ini saya kasih jempol buat Norman yang jadi tukang bubur. Sembari nunggu kabar ia naik haji, saya juga berdoa Briptu Eka Frestya akan menyusul langkahnya. Ehm, kalau yang satu itu, saya.. mau kok jadi kolega bisnisnya.
Ditulis oleh : IQBAL AJI DARYONO. Dicopas dari mojokdotco